Selasa, 04 Juni 2013

Rincian Larangan Ihrom Haji & Umroh


 LARANGAN-LARANGAN IHRAM
Ketika kita dalam keadaan ihram, baik ihram haji maupun ihram umroh diharuskan untuk menjaga agar tidak melanggar larangan-larangan ihram

1.    Larangan memakai kain
Larangan memakai kain berjahit ini berbeda antara laki-laki dan perempuan serta tergantung dengan situasi dan kondisinya, rinciannya:
 a.    Bagi laki-laki dilarang menutup kepalanya sebagian atau seluruhnya dengan kain yang berjahit atau tidak, juga dilarang memakai: imamah, Peci, potongan kain, dan penutup kepala lainnya yang sejenis. Semuanya itu harus dihindari kecuali dalam keadaan mendesak/darurat seperti untuk pengobatan, atau karena kepanasan, atau kedinginan  maka diperbolehkan memakainya tapi harus membayar fidyah.
Para ulama madzhab Syafii membolehkan meletakkan barang bawaan diatas kepala walaupun hal itu juga masih dipandang makruh dan diperbolehkan bernaung  dibawah payung, rumah, kendaraan, kemah dan pohon.
Adapun para ulama madzhab Hambali melarang untuk meletakan barang bawaan diatas kepala kecuali Karena darurat dan ia harus membayar fidyah.

b.    Bagi laki-laki dilarang menutup bagian tubuh lainnya selain yang tertutupi oleh dua lembar kain ihram. Oleh karena itu dilarang memakai: celana panjang, jubah, kemeja, khuf (sarung kaki kulit), sandal yang menutupi mata kaki, oleh karena itu dianjurkan bahkan diperintahkan oleh Rosulullah untuk memakai sandal biasa yang terlihat mata kakinya.
Para ulama madzhab Hanafi dan Maliki membolehkan memakai celana panjang apabila tidak ada kain ihram untuk menutupi bagian bawah badannya, serta diperbolehkan memakai sarung kaki kulit (khuf) dengan syarat dipotong terlebih dahulu bagian bawah belakangnya sehingga nampak kedua mata kakinya.
Dalil diperbolehkannya memakai celana panjang atau sarung kaki kulit dalam keadaan darurat adalah sebagai berikut:

سَمِعْتُ النَّبِيَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَطِبُ بِعَرَفَاتٍ يَقُولُ: ((مَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبِسْ خُفَيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبِسْ سَرَاوِيْلَ))        رواه متفق عليه

“saya mendengar Nabi Saw. Berhutbah di Arafah, beliau bersabda: barang siapa yang tidak mendapatkan sandal maka pakailah khuf (sarung kaki kulit), dan yang tidak mendapatkan kain ihram maka pakailah celana panjang” (HR. Muttafakun Alaih)
Dalam kondisi seperti ini para ulama madzhab Syafii dan Hambali tidak mengharuskan membayar fidyah sedangkan para ulama madzhab Hanafi dan Maliki mengharuskan membayar fidyah. Para ulama madzhab Hambali tidak mengharuskan membayar fidyah beralasan karena dalam hadist tersebut sahabat diperintahkan memakai celana panjang atau sarung kaki kulit dan tidak diperintahkan harus membayar fidyah.

c.    Para ulama sepakat Bagi perempuan diharuskan menutupi kepala dan seluruh badannya kecuali wajahnya, kedudukan wajah dalam ihramnya wanita sama dengan kepala pada laki-laki, wanita dilarang menutup wajahnya, sebagaimana laki-laki dilarang menutup kepalanya ketika ihram,  sesuai dengan Hadist Rosulullah:

(( وَلاَ تَنْتَقِبُ المَرْأَةَ وَلاَ تَلْبِسُ القَفَازَيْنِ )) رواه البخاري ، وَقَوْلُهُ: ((إِحْرَامُ المَرْأَةِ فِي وَجْهِهَا)).

Para wanita dilarang memakai penutup wajah dan sarung tangan (HR. Bukhari). Dan Rosulullah bersabda: Ihramnya wanita itu pada wajahnya.
Para ulama sepakat membolehkan wanita menutup wajahnya apabila dalam keadaan darurat atau untuk menghindari pitnah ketika ada laki-laki asing lewat, dan hal itu tidak harus membayar fidyah ( Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, III/2296).

عن عائشة رضي الله عنها قالت: ((كَانَ الرَكِبَانِ يَمُرُو بِنَا وَنَحْنُ مُحَرَمَاتٍ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا حَاذَوْنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا، فَإِذَا جَاوَزْنَا كَشَفْنَاهُ)) رواه أبو دود والأثم.

Dari Aisyah beliau menceritakan: ketika ada dua orang laki-laki yang menaiki onta melewati kami yang sedang ihram bersama Rosulullah, ketika mereka berada dihadapan kami salah seorang diantara kami menjulurkan kain jilbabnya kewajahnya ketika mereka telah lewat kami membukanya)).  (HR. Abu Dawud dan Al-Atsam).

 2.    Larangan berhias
Larangan ini meliputi larangan memakai wangi-wangian baik pada badan maupun pada kain yang dipakai, memotong bulu yang ada dibadan, memotong kuku, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan memperindah badan.  
 a.    Larangan memakai minyak wangi
Para ulama madzhab sepakat bahwa memakai minyak wangi itu dilarang termasuk didalamnya minyak untuk rambut kepala, jenggot, dan angota badan lainnya, meskipun minyak tersebut tidak memiliki bau wangi, karena didalamnya ada unsur berhias, beralasan dengan hadist  yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa yang berihram itu asy’ast wa agbar (tidak disisir dan berdebu). Apabila memakainya maka baginya fidyah.
Akan tetapi para ulama mazdhab bersepakat membolehkan memakai minyak jika ada alasan yang mengharuskan memakainya seperti untuk pengobatan dan ini tidak mengharuskan membayar fidyah (Syarah al-Kabir: II/59-61, Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu: III/2297).   

b.    Larangan Mencabut Bulu badan dan Memotong Kuku
Para ulama bersepakat bahwa memotong rambut dalam keadaan ihram itu dilarang berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 196 yang artinya: janganlah kalian mencukur kepalamu sebelum korban sampai ditempat penyembelihannya. Larangan ini meliputi larangan memotong kuku, mencabut bulu yang dibadan; ketiak, kemaluan, jenggot, kumis serta bulu yang ada dibadan lainnya.
Tapi dalam keadaan darurat diperbolehkan untuk melakukan hal-hal tersebut tapi harus membayar fidyah, adapun fidyahnya adalah sebagai berikut;
Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa apabila mencukur seperempat atau sepertiga kepala tanpa ada alasan maka baginya  harus membayar dam. Tapi kalau mencukurnya karena darurat maka baginya harus memilih melakukan salah satu dari tiga denda, sesuai dengan firman Allah:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّنْ رَأْسِهِ، فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ (البقرة:196).

Jika diantara kalian sakit atau ada gangguan dikepalanya (kemudian ia bercukur) maka wajib atasnya fidyah yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban.(Al-Baqoroh:196).

Tapi kalau kurang dari seperempat cukup membayar sodaqoh.
Apabila memotong kuku karena ada halangan maka dendanya adalah setengah sho’ (+ 1 Setengah Kg.) makanan pokok untuk setiap jarinya, tapi kalau memotongnya tanpa alasan karena ada halangan atau darurat maka dendanya adalah seekor kambing.
Adapun para ulama madzhab Maliki mereka berpendapat bahwa mencabut sehelai rambut atau memotong satu jari kuku atau sepuluh rambut atau kuku dendanya adalah satu hafnah (segenggam penuh kedua telapak tangan) makanan pokok untuk setiap rambut atau kuku. Dan para ulama madzhab Maliki juga berpendapat bahwa tercabutnya rambut karena disebabkan wudu atau mandi itu tidak terkena denda.
Sedang para ulama madzhab Syafii berpendapat bahwa mencabut sehelai rambut dendanya adalah satu mud ( + setengah Kg.) makanan pokok, untuk dua helai rambut dendanya dua mud (+ 1 Kg) makanan pokok. Apabila lebih dari dua helai rambut atau kuku maka dendanya adalah fidyah penuh dengan memilih salah satu dari fidyah: puasa 3 hari atau sodakoh atau menyembelih seekor kambing. Para ulama madzhab Syafii juga berpedapat bagi yang mencukur rambut karena penyakit atau karena halangan lainnya maka ia kena fidyah dengan memilih salah satu dari tiga denda: puasa 3 hari atau sodaqoh dengan memberi makan 6 orang fakir miskin atau menyembelih seekor kambing.

3.    Larangan yang berkaitan dengan pernikahan
Larangan ini meliputi tiga hal: akad pernikahan dan hubungan suami istri serta meminang adapun rinciannya adalah sebagai berikut;
Para ulama bersepakat bahwa melakukan akad pernihanan dalam keadaan ihram adalah dilarang, apabila dilakukan maka nikahnya tidak sah. Rosulullah bersabda;

لاَ يَنْكِحُ المُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ، وَلاَ يَخْطُبُ رواه مسلم  

Orang yang berihram dilarang melakukan pernikahan atau menikahkan, dan dilarang meMinang (HR. Muslim).
Para ulama madzhab semuanya sepakat apabila melakukan hubungan suami istri sebelum wukuf di Arafah maka hajinya rusak dan ia harus menyempurnakan hajinya serta diharuskan menyembelih badanah (seekor onta berusia 5 tahun) dan ia juga harus mengkodonya langsung pada tahun berikutnya.
Jika melakukan hubungan suami istri sebelum tahalul pertama tapi sudah wukuf semua ulama madzhab sepakat kecuali madzhab Hanafi hajinya rusak dan harus menyembelih seekor badanah dan menyempurnakan hajinya serta wajib mengkodonya langsung pada tahun berikutnya. Tapi jika melakukan hubungan suami istri setelah tahalul pertama hajinya tetap sah tapi ia harus menyembelih seekor badanah.
Para ulama Hanafi berpendapat bahwa melakukan  hubungan suami istri sebelum tahalul pertama setelah wukuf hajinya tetap sah beralasan karena rukun dasar haji adalah wukuf di Arafah sebagaimana sabda Rosulullah saw.: haji adalah Arafah yaitu wukuf di Arafah. (fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu: III/2307).

4.    Larangan yang berkaitan dengan membunuh binatang
Orang yang dalam keadaan Ihram dilarang melakukan perburuan atau membantu berburu serta membunuh binatang buruan.
Dalilnya adalah firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai hadyu yang dibawa sampai ka’bah…….(QS. Al-Maidah ; 95).

Tapi diperbolehkan berburu binatang laut Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt:

 أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ، وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ البَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا (المائدة: 96).

Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanlah (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat selama kalian dalam keadaan ihram. (Al-Maidah: 96).
Jumhur Ulama membolehkan memotong hewan ternak seperti sapi, onta, kambing, ayam serta diperbolehkan membunuh binatang berbahaya seperti singa, srigala, ular, tikus, kalajengking, anjing liar. dan hal itu tidak dikenakan denda.
Bahkan Ulama Madzhab Hanafi membolehkan membunuh binatang seperti: serangga tanah, nyamuk, semut, lalat, kutu binatang, lalat binatang, karena semua itu tidak termasuk kedalam hewan buruan bahkan pada umumnya bisa menyakiti badan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar