Silahkan perhatikan gambar ini baik-baik, silahkan di zoom (diperbesar)
Apa yang berada di atas kubah Masjid An-Nabawi itu ialah jendela ataupun tutupan kubah yang akan di buka ketika hendak membersihkan atap kubah Masjid An-Nabawi. Dahulunya kubah ini terbuka, namun kerana dikhawatirkan jikalau hujan, air dipastikan akan masuk yang nanti akan menyebabkan rusaknya bagian dalam bangunan tersebut maka akhirnya ia di tutup. Jadi,cerita mengenai adanya mayat di atas kubah Masjid An-Nabawi adalah TIDAK BENAR alias DUSTA karena ia bukanlah mayat tetapi hanyalah jendela yang menutupi Kubah Masjid An-Nabawi. Berita bohong ini sengaja dihembuskan oleh orang-orang Syi'ah. Allahu a'lam.
Alhamdulillah
Pertama: Sejarah Kubah Hijau
Kubah yang ada di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, dahulu
tidak ada hingga abad ketujuh. Yang (pertama kali) membangunnya adalah
Sultan Qalawun. Dahulu berwarna kayu, kemudian berwarna putih, biru dan
hijau. Dan warna hijau yang berlanjut hingga sekarang.
Ustadz Ali Hafid hafizahullah berkata: “Belum pernah ada kubah di atas
kamar yang suci (kuburan Nabi). Dahulu di atap masjid yang sejajar
dengan kamar ada kayu memanjang setengah ukuran orang untuk membedakan
antara kamar dengan sisa atap masjid lainnya.
Sulton Qalawun As-Shalihi yang pertama kali membuat kubah di atas
kuburan tersebut. Dikerjakan pada tahun 678 H, berbentuk empat persegi
panjang dari sisi bawah, sedangkan atasnya berbentuk delapan persegi
dilapisi dengan kayu. Didirikan di atas tiang-tiang yang mengelilingi
kamar, dikuatkan dengan papan dari kayu, lalu dikuatkan lagi dengan
tembaga, dan ditaruh di atas kayu dengan kayu lain.
Kubah tersebut diperbarui pada zaman An-Nasir Hasan bin Muhammad
Qalawun, kemudian papan yang ada tembaganya retak. Lalu diperbarui dan
dikuatkan lagi pada masa Al-Asyraf Sya’ban bin Husain bin Muhammad
tahun, 765 H. Akan tetapi ada kerusakan, dan diperbaiki pada zaman
Sultan Qaytabai tahun 881 H. Rumah dan kubah terbakar pada (waktu)
kebakaran Masjid Nabawi tahun 886 H. Pada zaman Sultan Qaytabai tahun
887 H, kubahnya diperbarui. Dan dibuat pondasi yang kuat di tanah Masjid
Nabawi, dibangun dengan kayu dengan puncak ketinggian. Setelah kubah
selesai seperti yang telah dijelaskan, ternyata bagian atasnya koyak
kembali.
Ketika merasa tidak mungkin lagi dipugar, Sultan Fayyabi memerintahkan
untuk menghancurkan bagian atasnya. Lalu diulangi lagi pembangunannya
lebih kuat dengan semen putih. Dan selesai dengan kokoh dan kuat pada
tahun 892 H. Pada tahun 1253 H Sultan Abdul Hamid Al-Utsmani
mengeluarkan perintah untuk mengecat kubah dengan warna hijau. Beliaulah
yang pertama kali mengecat kubah dengan (warna) hijau. Kemudian cat
tersebut terus menerus diperbarui setiap kali dibutuhkan, sampai hari
ini. Dinamakan kubah hijau setelah dicat hijau. Dahulu dikenal dengan
Kubah Putih, Fayha dan Kubah Biru.” (Fushul Min Tarikh Al-Madinah
Al-Munawwarah, Ali Hafiz, hal. 127-128)
Kedua: Hukumnya
Para ulama peneliti -dahulu dan sekarang- telah mengingkari bangunan
kubah dan pengecatannya. Semua itu karena mereka mengetahui bahwa
pengingkaran tersebut dapat mencegah peluang yang banyak yang
mengkhawatirkan lahirnya tindakan kesyirikan. Di antara ulama-ulama
tersebut adalah;
1. Imam Ash-Shan’any rahimahullah dalam kitab ‘Tathirul I’tiqadat’,
berkata, 'Kalau anda katakan, bahwa pada kuburan Rasulullah sallallahu
alaihi wa sallam telah dibangun kubah yang agung dengan biaya yang
sangat besar, maka saya katakan, ini merupakan kebodohan besar tentang
hakikat sebuah keadaan. Sesungguhnya kubah tersebut tidak dibangun oleh
beliau (Nabi) sallallahu alaihi wa sallam, para shahabat, para tabiin,
para tabiit tabi’in, tidak juga para ulama umat dan pemimpin agamanya.
Akan tetapi kubah yang dibangun di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi
wa sallam tersebut adalah bangunan yang didirikan salah seorang raja
Mesir terakhir yaitu Qalawun As-Salihi yang dikenal dengan Raja
Al-Mansur pada tahun 678 H.
Disebutkan dalam kitab ‘Tahqiq An-Nushrah Bitalkhis Ma’alim Dar
Al-Hijrah’, 'Ini adalah urusan pemerintah, tidak ada kaitannya dengan
dalil.'
2. Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya:
“Ada orang yang berhujjah (berargumen) bahwa adanya bangunan kubah
hijau di atas kuburan yang mulia di Masjid Nabawi menunjukkan
dibolehkannya membangun kubah di atas kuburan-kuburan lain seperti
orang-orang shaleh dan lainnya. Apakah hujjah ini dibenarkan atau
bagaimana cara menyangkalnya?.
Mereka menjawab: “Hujjah (argumen) orang yang membolehkan membangun
kubah di atas kuburan orang saleh yang telah wafat, dengan (adanya)
kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidaklah benar.
Karena tindakan mereka yang membangun kubah di atas kuburannya
sallallahu’alaihi wa sallam merupakan perbuatan haram dan pelakunya
berdosa, karena menyalahi riwayat dari Abi Al-Hayyaj Al-Asadi yang
berkata, 'Ali bin Abi Tholib radhiallahu anhu berkata kepadaku: ”Mari
aku utus engkau sebagaimana Rasulullah sallallahu alahi wa sallam
mengutusku; Janganlah engkau membiarkan patung kecuali engkau hilangkan,
dan jangan biarkan kuburan tinggi kecuali engkau ratakan."
Dari Jabir radhiallahu anhu, dia berkata:
"Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang kuburan ditembok, diduduki dan dibangun di atasnya." (HR. Muslim)
Maka tidak sah seseorang berhujjah dengan prilaku sebagian orang yang
diharamkan dengan melakukan prilaku yang sama yang diharamkan (juga).
Karena tidak dibolehkan menyalahi sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam
dengan bersandar perkataan atau perbuatan seorang pun. Karena (beliau
sallallahu’alaihi wasallam) sebagai penyampai dari Allah Subhanahu
wata’ala yang wajib ditaati dan tidak boleh menyalahi perintahnya.
Berdasarkan firman Allah Azza wa jalla:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Dan ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Allah dan kepada RasulNya.
Di samping itu, karena membangun kuburan dan menjadikan kubah di atasnya
merupakan salah satu sarana kesyirikan terhadap penghuninya, maka pintu
ke arah sana harus ditutup sebagai antisipasi mencegah perbuatan
syirik.’
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Qa’ud
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/83-84)
3. Para ulama’ Al-Lajnah ad-Daimah mengomentari juga:
”Berdirinya kubah di atas kuburan Nabi sallallahu’alahi wasallam bukan
sebagai hujjah bagi yang mecari dalil untuk itu dalam membangun kubah di
atas kuburan para wali dan orang-orang shaleh. Karena adanya kubah di
atas kuburannya, bukan atas wasiat dari beliau sallallahu’alaihi wa
sallam, juga bukan prilaku para shahabat radhiallahu’anhum, bukan juga
para tabiin, juga bukan (perbuatan) seorang pun dari para imam yang
mendapatkan petunjuk di abad-abad permulaan yang disaksikan Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik. Sssungguhnya hal
itu (merupakan prilaku) ahli bid’ah.
Telah menjadi ketetapan Nabi sallallahu’alahi wa sallam dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami yang
tidak ada (ajarannya) maka ia tertolak.”
Begitu pula telah ada ketetapan dari Ali radhiallahu anhu bahwa beliau
berkata kepada Abu Al-hayyaj: ”Mari aku utus engkau sebagaimana
Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam mengutusku; Janganlah engkau
membiarkan patung kecuali engkau hilangkan, dan jangan ada kuburan
tinggi kecuali engkau telah ratakan.” (HR. Muslim)
Tidak ada ketetapan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam membangun
kubah di atas kuburannya, juga tidak ada ketetapan dari para imam yang
terbaik. Justeru ketetapan yang ada adalah membatalkan akan hal itu.
maka selayaknya seorang muslim tidak tergantung dengan apa yang
dibuat-buat oleh ahli bid’ah dengan membangun kubah di atas kuburan Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam.”
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah
Gudayyan, Syekh Abdullah Qa’ud. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/264, 265)
4. Syekh Syamsuddin Al-Afghany rahimahullah berkata: ”Al-Allamah
Al-Khojnadi (1379 H) berkata dalam menjelaskan sejarah pembangunan kubah
hijau yang dibangun di atas kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
'Setelah diteliti, dia adalah bid’ah yang dilakukan melalui
tangan-tangan sebagian penguasa yang tidak paham dan keliru yang
jelas-jelas menyalahi hadits shahih muhkam (yang jelas mengandung hukum)
dan jelas. Karena ketidak tahuan tentang sunnah serta sikap
berlebih-lebihan dan mengikuti orang Kristen yang sesat dan bingung.
Ketahuilah, bahwa hingga tahun 678 H, kubah di atas kamar nabi yang di
dalamnya ada kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah ada.
Akan tetapi, hal tersebut baru dibangun oleh Raja Ad-Zahir Al-Mansur
Qalawun As-Sholihi pada tahun itu (678 H). Maka dibangunlah kubah itu.
Saya katakan: ”Sesungguhnya (dia) melakukan hal itu karena melihat di
Mesir dan Syam hiasan pada gereja orang Kristen. Maka dia menirunya
karena tidak tahu terhadap perintah Nabi sallallahu’alahi wa sallam dan
sunnah-sunnahnya. Sebagaimana Al-Walid menirunya dalam menghias masjid.
Maka berhati-hatilah. (Wafa AL-Wafa).
Tidak diragukan lagi bahwa prilaku Qalawun ini –dengan tegas menyalahi
hadits shahih dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Akan tetapi
kebodohan adalah bencana yang besar. Dan berlebih-lebihan dalam
mencintai dan mengagumkan adalah bencana yang mengerikan. Meniru
orang-orang asing (non Islam) adalah penyakit yang memusnahkan. Maka
kami berlindung kepada Allah dari kebodohan, berlebih-lebihan dan dari
meniru orang-orang asing.” (Juhud Ulama’ Al-Hanafiyah Fi Ibtol Aqoidil
AL-Quburiyyah, 3/1660-1662)
Ketiga: Sebab Tidak Dihancurkannya.
Para ulama menerangkan hukum agama terkait membangun kubah. Pengaruh
dari perbuatan bid’ah ini sangat jelas bagi para pelaku bid’ah, mereka
menjadi sangat tergantung dengan bangunan tersebut, baik bentuk maupun
warnanya. Pujian dan penghormatan mereka telah banyak melahirkan nazam
(syair) maupun natsar (prosa). (Untuk mengatasi hal ini) yang ada tingal
realisasi dari pemerintah, dan ini bukan pekerjaan para ulama.
Boleh jadi, penghalang bangunan tersebut tidak dihancurkan adalah agar
tidak terjadi fitnah, dan khawatir terjadi kekacauan di kalangan awam
karena ketidaktahuan mereka. Yang sangat memprihatinkan adalah bahwa
kalangan awam di tengah masyarakat dapat sampai pada tindakan
pengagungan terhadap kubah tersebut tak lain karena ajaran dan arahan
para ulama sesat dan para pemimpin bid’ah. Mereka inilah yang membuat
kekacauan terhadap dua negeri yang suci (Mekkah dan Madinah) serta
terhadap aqidah dan manhajnya. Karena telah banyak sekali prilaku yang
sesuai dengan agama di kami yang menyalahi bid’ah mereka. Yang jelas,
hukum agama telah tampak dengan jelas. Tidak dihancurkannya kubah
tersebut bukan berarti dibolehkan membangunnya, baik di situ maupun di
kuburan manapun.
Syekh Shaleh Al-Ushaimi hafizahullah berkata: “Sesungguhnya berdirinya
kubah tersebut selama delapan abad, bukan berarti dia dibolehkan. Juga
bukan berarti jika didiamkan bermakna setuju atau dalil membolehkan.
Seharusnya penguasa umat Islam menghilangkannya, dan mengembalikan
kondisinya seperti waktu kenabian, yaitu dengan menghilangkan kubah,
hiasan dan dekorasi dalam masjid. Terutama pada Masjid Nabawi, jika hal
itu tidak berdampak fitnah yang lebih besar. Akan tetapi, jika berdampak
fitnah lebih besar, maka penguasa (harus) berhati-hati disertai
keinginan kuat (untuk menghancurkannya) jika memungkinkan. (Bida
Al-Qubur, Anwa’uha Wa ahkamuha, hal.253)
Wallahu’alam .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar