Haji wanita haid atau nifas itu ada dua kondisi:
1. Haid atau Nifas sebelum Ihram
Untuk
Wanita yang mengalami haid atau nifas sebelum melakukan ihram maka
mulailah dengan mandi ihram kemudian berihram. Keadaan ini sama seperti
peristiwa yang pernah di alami oleh Asma binti Umais dimana ia
melahirkan ketika hendak haji.
Apabila
ia berihram dengan haji tamattu maka ketika sampai di Mekkah dan ia
masih dalam keadan haid atau nifas maka jangan melakukan thawaf umroh,
karena thawaf adalah sholat dan sholat harus dalam keadaan suci. Jagalah
ihramnya sampai suci, setelah suci baru kemudian thawaf umroh, sa’i dan
tahallul.
Apabila
sampai tgl 8 dzulhijjah belum juga suci maka mandilah kemudian
lakukanlah ihram haji dan umroh secara bersamaan (disatukan) sehingga
hajinya menjadi haji qiron. Niat ihromnya: لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجَّةٍ مَعًا
”Aku memenuhi panggilan-Mu dengan melakukan umroh dan haji bersamaan”.
Kemudian lakukan amalan-amalan haji lainnya seperti mabit di mina,
wukuf di padang arafah, mabit dimuzdalifah, lempar jumroh, memotong
hewan sembelihan dan tahallul awal. Apabila ia masih dalam keadaan haid maka jangan thawaf ifadhoh, tunggu dulu sampai suci.
Apabila
ia berihram dengan haji Ifrad atau Qiron ketika sampai di Mekkah dan ia
masih dalam keadaan haid atau Nifas maka jangan melakukan thawaf kudum
tidak juga mengkodonya karena para jumhur ulama memandang bahwa thawaf
kudum adalah sunnah, ia gugur karena ada halangan. Lakukan amalan-amalan
haji lainnya seperti mabit di mina kemudian wukuf di padang arafah,
mabit dimuzdalifah, lempar jumroh dan seterusnya.
2. Haid atau Nifas Sesudah Ihram
Untuk
wanita yang mengalami haid sesudah ihram, dimana ia mengalami haid
ditengah perjalanan antara Miqot dan Mekkah. Keadaan seperti ini sama
seperti yang pernah dialami oleh Aisyah ra. Dimana ia mengalami haid di
tengah perjalanan ketika sudah dekat Mekkah.
Apabila
ia telah berihram umroh haji tamattu maka ketika sampai di Mekkah
jangan thawaf umroh, jagalah ihramnya sampai ia suci. Setelah suci baru
kemudian thawaf umroh, sa’i dan tahallul. Kemudian apabila sampai tgl 8
Dzulhijjah haidnya belum berhenti maka mandillah dan lakukanlah ihram
haji dan umroh secara bersamaan/disatukan sehingga hajinya menjadi haji
qiron ini adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan dalil dari riwayat
Jabir yang menceritakan tentang hajinya Aisyah ra. :
Bahwasannya Aisyah berangkat untuk umroh, ketika sampai di daerah yang bernama Saraf tiba-tiba ia haid. Kemudian
Rosulullah mendatanginya dan ia sedang menangis, Rasulullah bertanya:
Ada apa denganmu..? Aisyah menjawab : Saya haid dan orang-orang telah
tahallul sedangkan saya belum thawaf, dan sekarang orang-orang mulai
berangkat haji (ihram haji), Rasulullah berkata: sesungguhnya ini adalah
perkara yang telah Allah tetapkan bagi wanita, oleh karena itu mandilah kemudian berihram haji. Dan Aisyah melakukan yang diperintahkan Rosulullah sampai ia suci kemudian thawaf (ifadhoh) dan sa’I. Kemudian Rasulullah bertanya kepada Aisyah apakah engkau telah tahallul dari haji dan umrohmu? Aisyah
menjawab: Wahai Rosulullah saya merasa belum thawaf di baitullah
walaupun saya telah haji. Rasulullah bekata: Ya Abdurahman antarkan
Aisyah Umrohnya dari Tan’im. (HR. Nasa’i: 5/164 dan Muslim dengan lafad
yang berbeda: 3/873).
Untuk tehnik pelaksanaannya sama seperti pelaksaan haji Qiron diatas.
Apabila
ia berihram dengan haji Ifrad atau Qiron ketika sampai di Mekkah dan ia
masih dalam keadaan haid maka tidak usah thawaf kudum tidak juga
mengkodonya karena para jumhur ulama memandang bahwa thawaf kudum adalah
sunnah, ia gugur karena ada halangan. Lakukan amalan-amalan haji
lainnya seperti mabit di mina kemudian wukuf di padang arafah, mabit
dimuzdalifah, lempar jumroh dan seterusnya.[1]
Jika seorang wanita haid atau Nifas setelah wukuf di Arafah dan thawaf ifadoh
kemudian ia ingin meninggalkan kota Mekah karena keadaan mendesak yang
mengharuskan ia untuk meninggalkannya maka tidak mengapa apabila ia
tidak melakukan thawaf wada, berdasarkan dalil hadist Shofiah ketika
para sahabat mengatakan kepada Rosulullah: Ya Rosulullah sesungguhnya
Shofiah sedang haid, kemudian Rosulullah menjawah: Apakah ia akan
menahan kita? Para
sahabat menjawab: Wahai Rosulullah ia sudah melakukan thawaf ifadoh
pada hari raya , Rosulullah berkata: kalau begitu ia boleh pergi.
Rosulullah tidak menyuruhnya untuk membayar fidyah atau denda lainnya.
Jika
seorang wanita terdesak untuk segera meninggalkan kota Mekah sedangkan
ia masih dalam keadaan haid atau nifas dan ia belum melakukan thawaf
ifadoh maka para ulama Madzhab Hanafi berpendapat boleh melakukan thawaf
ifadoh, yang diawali dengan mandi kemudian menutup tempat keluarnya
darah dengan sangat rapat agar tidak menetes keluar, kemudian thawaf
dilanjutkan dengan sa’i. Bagi wanita ini kena denda dengan keharusan
menyembelih badanah (seekor onta yang berusia 5 tahun atau seekor sapi berusia 2 tahun) [2]. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Qoyim dari Madzhab Hambali membolehkan thawaf ifadhoh bila terpaksa atau karena takut ditinggalkan rombongan, dan ia tidak kena dam[3].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar