Sabtu, 15 September 2012

Haji Wanita Haid


Print
Category: Haji Published on Thursday, 08 December 2011 Written by ibnu sabar al-bulthy
 HAJI WANITA HAID & NIFAS
 Haji wanita haid atau nifas itu ada dua kondisi:
 1. Haid atau Nifas sebelum Ihram
Untuk Wanita yang mengalami haid atau nifas sebelum melakukan ihram maka mulailah dengan mandi ihram kemudian berihram. Keadaan ini sama seperti peristiwa yang pernah di alami oleh Asma binti Umais dimana ia melahirkan ketika hendak haji.
Apabila ia berihram dengan haji tamattu maka ketika sampai di Mekkah dan ia masih dalam keadan haid atau nifas maka jangan melakukan thawaf umroh, karena thawaf adalah sholat dan sholat harus dalam keadaan suci. Jagalah ihramnya sampai suci, setelah suci baru kemudian thawaf umroh, sa’i dan tahallul.
Apabila sampai tgl 8 dzulhijjah belum juga suci maka mandilah kemudian lakukanlah ihram haji dan umroh secara bersamaan (disatukan) sehingga hajinya menjadi haji qiron. Niat ihromnya: لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجَّةٍ مَعًا
”Aku memenuhi panggilan-Mu dengan melakukan umroh dan haji bersamaan”. Kemudian lakukan amalan-amalan haji lainnya seperti mabit di mina, wukuf di padang arafah, mabit dimuzdalifah, lempar jumroh, memotong hewan sembelihan dan  tahallul awal. Apabila ia masih dalam keadaan haid maka jangan thawaf ifadhoh, tunggu dulu sampai suci.
Apabila ia berihram dengan haji Ifrad atau Qiron ketika sampai di Mekkah dan ia masih dalam keadaan haid atau Nifas maka jangan melakukan thawaf kudum tidak juga mengkodonya karena para jumhur ulama memandang bahwa thawaf kudum adalah sunnah, ia gugur karena ada halangan. Lakukan amalan-amalan haji lainnya seperti mabit di mina kemudian wukuf di padang arafah, mabit dimuzdalifah, lempar jumroh dan seterusnya.

2. Haid atau Nifas Sesudah Niat Ihram (dalam keadaan ihram)
Untuk wanita yang mengalami haid sesudah ihram, dimana ia mengalami haid ditengah perjalanan antara Miqot dan Mekkah. Keadaan seperti ini sama seperti yang pernah dialami oleh Aisyah ra. Dimana ia mengalami haid di tengah perjalanan ketika sudah dekat Mekkah.

Apabila ia telah berihram umroh haji tamattu maka ketika sampai di Mekkah jangan thawaf umroh, jagalah ihramnya sampai ia suci. Setelah suci baru kemudian thawaf umroh, sa’i dan tahallul. Kemudian apabila sampai tgl 8 Dzulhijjah haidnya belum berhenti maka mandillah dan lakukanlah ihram haji dan umroh secara bersamaan/disatukan sehingga hajinya menjadi haji qiron ini adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan dalil dari riwayat Jabir yang menceritakan tentang hajinya Aisyah ra. :

Bahwasannya Aisyah berangkat untuk umroh, ketika sampai di daerah yang bernama Saraf tiba-tiba ia haid. Kemudian Rosulullah mendatanginya dan ia sedang menangis, Rasulullah bertanya: Ada apa denganmu..? Aisyah menjawab : Saya haid dan orang-orang telah tahallul sedangkan saya belum thawaf, dan sekarang orang-orang mulai berangkat haji (ihram haji), Rasulullah berkata: sesungguhnya ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi wanita, oleh karena itu  mandilah kemudian berihram haji. Dan  Aisyah melakukan yang diperintahkan Rosulullah sampai ia suci  kemudian thawaf (ifadhoh) dan sa’I. Kemudian  Rasulullah bertanya kepada Aisyah apakah engkau telah tahallul dari haji dan umrohmu?  Aisyah menjawab: Wahai Rosulullah saya merasa belum thawaf di baitullah walaupun saya telah haji. Rasulullah bekata: Ya Abdurahman antarkan Aisyah Umrohnya dari Tan’im. (HR. Nasa’i: 5/164 dan Muslim dengan lafad yang berbeda: 3/873).

Untuk tehnik pelaksanaannya sama seperti pelaksaan haji Qiron diatas.        

Apabila ia berihram dengan haji Ifrad atau Qiron ketika sampai di Mekkah dan ia masih dalam keadaan haid maka tidak usah thawaf kudum tidak juga mengkodonya karena para jumhur ulama memandang bahwa thawaf kudum adalah sunnah, ia gugur karena ada halangan. Lakukan amalan-amalan haji lainnya seperti mabit di mina kemudian wukuf di padang arafah, mabit dimuzdalifah, lempar jumroh dan seterusnya.[1]

 Jika seorang wanita haid atau Nifas setelah wukuf di Arafah dan thawaf  ifadoh kemudian ia ingin meninggalkan kota Mekah karena keadaan mendesak yang mengharuskan ia untuk meninggalkannya maka tidak mengapa apabila ia tidak melakukan thawaf wada, berdasarkan dalil hadist Shofiah ketika para sahabat mengatakan kepada Rosulullah: Ya Rosulullah sesungguhnya Shofiah sedang haid, kemudian Rosulullah menjawah: Apakah ia akan menahan kita?  Para sahabat menjawab: Wahai Rosulullah ia sudah melakukan thawaf ifadoh pada hari raya , Rosulullah berkata: kalau begitu ia boleh pergi. Rosulullah tidak menyuruhnya untuk membayar fidyah atau denda lainnya.

Jika seorang wanita terdesak untuk segera meninggalkan kota Mekah sedangkan ia masih dalam keadaan haid atau nifas dan ia belum melakukan thawaf ifadoh maka para ulama Madzhab Hanafi berpendapat boleh melakukan thawaf ifadoh, yang diawali dengan mandi kemudian menutup tempat keluarnya darah dengan sangat rapat agar tidak menetes keluar, kemudian thawaf dilanjutkan dengan sa’i. Bagi wanita ini kena denda dengan keharusan menyembelih badanah (seekor onta yang berusia 5 tahun atau seekor sapi berusia 2 tahun)[2]. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Qoyim dari Madzhab Hambali membolehkan thawaf  ifadhoh  bila terpaksa atau karena takut ditinggalkan rombongan, dan ia tidak kena dam[3].



[1] . Hajj Wal Umroh Wa Qodhoya Al-Mar’ah: 219.
[2]Fiqh al-Islami wa Adilatuhu: III/ 2222, Bidayah al-Muztahid: I/331, Mugni Muhtaz: I/514.
[3]Al-Mugni fi Fiqhi Al-Hajj wa Al-Umroh: 206.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar