SALAH SATU MASALAH manasik atau tatacara haji dan umrah yang banyak diperbincangkan, bahkan diperdebatkan, adalah masalah miqat makani, yaitu tempat jemaah haji dan umrah mulai berihram (memakai pakaian ihram dan tidak melakukan larangan ihram). Perbedaan pendapat muncul lantaran interpretasi yang beraneka ragam terhadap hadits dalam Shahih al-Bukhari, Volume ke-2, hadits No. 605, yang berbunyi sebagai berikut:
Dari Abdullah ibn Abbas r.a. yang berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan miqat (waqqata) Dzulhulaifah bagi warga Madinah, Juhfah bagi warga Syam, Qarnulmanazil bagi warga Najd, dan Yalamlam bagi warga Yaman. Tempat-tempat itu (hunna) berlaku bagi warga masing-masing tempat itu (lahunna) dan bagi yang datang ke tempat-tempat itu (wa li man ataa `alaihinna) dari tempat-tempat lain (min ghairihinna), yang ingin berhaji dan berumrah. Dan orang yang berada di luar tempat-tempat itu (wa man kaana duuna dzaalika) berihram dari mana saja dia muncul (min haitsu ansyaa’), sehingga warga Makkah berihram dari Makkah.”
Sesungguhnya empat lokasi yang disebutkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itu, yaitu Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil dan Yalamlam, sama sekali tidak memiliki nilai historis yang perlu diistimewakan. Tempat-tempat itu pada zaman Nabi hanyalah merupakan terminal persinggahan terakhir bagi kafilah-kafilah dari berbagai jurusan sebelum masuk Makkah, baik untuk beribadah maupun untuk sekadar berdagang. Sangatlah wajar jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan empat lokasi tersebut sebagai tempat persiapan berihram, sebab ada beberapa kegiatan pra-ihram yang perlu dilakukan, yaitu mandi, membersihkan badan, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan shalat sunnah ihram. Di daerah gurun pasir yang langka air pada abad ketujuh, empat lokasi itulah yang ideal sebagai miqat makani.
Akan tetapi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam sabda maupun perbuatan beliau, tidaklah memutlakkan keempat lokasi itu. Dari hadits di atas jelas sekali bahwa calon haji yang tidak datang ke salah satu tempat tersebut boleh berihram dari mana saja dia muncul. Yang penting, syarat sahnya ihram harus dipenuhi, yaitu memasuki Tanah Haram dalam keadaan sudah berihram. Jika seseorang yang ingin berhaji atau berumrah menginjak Tanah Haram dengan belum berihram, maka dia harus keluar lagi ke salah satu tempat di luar Tanah Haram untuk memulai ihram.
Ketika pulang dari perang di Hunain pada bulan Syawwal 8 Hijri atau Februari 630 Masehi, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan umrah dengan mengambil miqat atau tempat mulai berihram di Ji`ranah, tempat di luar Tanah Haram yang hanya 20 km dari Ka`bah. Nabi Muhammad s.a.w. tidak mengambil miqat di Qarnulmanazil, meskipun Hunain, daerah kaum Hawazin, berada di wilayah Najd!
Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan haji pada bulan Dzulhijjah 10 Hijri atau Maret 632 Masehi, istri beliau Aisyah r.a. kebetulan sedang haid. Maka setelah Aisyah r.a. berhenti haid, Nabi Muhammad s.a.w. menyuruhnya untuk menunaikan umrah bersama-sama adiknya Abdurrahman ibn Abi Bakar dengan mulai berihram dari Tan`im, tempat di luar Tanah Haram yang paling dekat. Sekarang, perjalanan dari Tan`im ke Ka`bah hanya 10 menit dengan mengendarai mobil.
Setelah kota Kufah dan Basrah di Iraq menerima Islam pada tahun 12 Hijri atau 634 Masehi, pada mulanya penduduk kedua kota itu yang ingin berhaji atau berumrah mengambil Qarnulmanazil sebagai tempat miqat, sebab mereka dianalogikan sebagai warga Najd. Oleh karena mereka merasa repot dengan harus berbelok ke tenggara (waktu itu transportasi dan jalan raya tidak secanggih sekarang), mereka menghadap Khalifah Umar ibn Khattab r.a. untuk meminta alternatif tempat miqat. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah ibn Umar r.a., putra Khalifah sendiri, yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari, mereka berkata: “Wahai Amirul-Mu’minin. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menentukan Qarn sebagai miqat warga Najd, tetapi tempat itu menyimpang dari rute jalan kami (jawrun `an thariiqinaa), dan jika kami ingin ke Qarn hal itu menyulitkan bagi kami (syaqqa `alainaa).” Maka Khalifah Umar r.a. yang terkenal cerdas itu memberikan solusi bijaksana: “Telitilah hadzwa-nya dari rute jalan kalian (fanzhuruu hadzwahaa min thariiqikum).”
Istilah matematika hadzwa artinya titik-titik sepusat (concentric points) atau berjarak sama jika diukur dari lokasi tertentu, seperti titik-titik pada keliling lingkaran atau seperti kita dengan bayangan di depan cermin. Oleh karena Qarnulmanazil berjarak dua marhalah (dua hari perjalanan unta) dari Makkah, maka Khalifah Umar r.a. menetapkan suatu tempat pada rute perjalanan dari Iraq, yang juga berjarak dua marhalah dari Makkah, sebagai lokasi miqat makani. Tempat itu lalu populer dengan nama Dzatu Irq (“tempat miqat orang Iraq”).
Di mana miqat makani jamaah Indonesia?
Berdasarkan hadits-hadits serta data historis yang telah dibahas, kita dapat merumuskan jawaban terhadap masalah pokok kita: di manakah miqat makani jemaah haji Indonesia? Pertama, jika kita berkesempatan untuk mampu berada di Dzulhulaifah, Juhfah, Qarnulmanazil atau Yalamlam, tempat-tempat itulah miqat makani kita sesuai dengan hadits. Kedua, jika kita tidak mampu datang ke salah satu dari empat tempat tersebut, tempat mana saja boleh kita jadikan sebagai miqat makani, asalkan lokasinya di luar Tanah Haram dan menyediakan fasilitas untuk persiapan berihram.
Bagi jemaah haji Gelombang Pertama yang ke Madinah dahulu sebelum ke Makkah, miqat makani mereka sudah tentu Dzulhulaifah, tempat miqat Rasulullah s.a.w. ketika beliau menunaikan haji. Nama Dzulhulaifah tidak dipakai lagi, sebab tempat itu kini bernama Bi’r (Abyar) Ali, sebagaimana nama Sunda Kalapa dan Batavia (Betawi) sekarang berubah menjadi Jakarta. Para jemaah haji mandi, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian ihram pada pondokan masing-masing di Madinah. Kendaraan akan mampir di Bi’r Ali (Dzulhulaifah) kira-kira setengah jam, agar jemaah haji menunaikan shalat sunnah ihram. Di Bi’r Ali, ketika kendaraan mulai bergerak menuju Makkah, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”
Bagi jemaah haji Gelombang Kedua yang langsung ke Makkah, miqat makani mereka yang paling ideal sampai saat ini adalah Bandar Udara Raja Abdul Aziz, yang populer dengan singkatan KAA Airport (King Abdul Aziz Airport). Di bandara megah ini tersedia hamparan karpet tempat istirahat yang luas, fasilitas mandi dengan air yang berlimpah, serta para petugas orang Indonesia yang siap membantu, sehingga para jemaah haji dengan leluasa mandi, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian ihram, dan menunaikan shalat sunnah ihram. Kenyataannya, sebagian besar jemaah haji dari berbagai negara mulai berihram di KAA Airport. Sedikit sekali jemaah yang turun dari pesawat udara dalam keadaan berihram. Di KAA Airport, ketika kendaraan mulai bergerak menuju Makkah yang hanya satu jam perjalanan, jemaah haji memulai umrah dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah.”
KAA Airport jelas berada di luar Tanah Haram, dan jalur penerbangan kita dari tanah air sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Menurut ketentuan pemerintah Arab Saudi yang disahkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization), badan PBB yang mengatur penerbangan sipil antarbangsa, setiap pesawat udara dari kawasan Asia dan Pasifik harus datang dari arah timur laut, melewati kota Dafinah (23 16’ N, 41 51’ E), lalu menurunkan ketinggian di atas kota Nasir (22 14’ N, 40 04’ E), dan mendarat di KAA Airport (21 41’ N, 39 10’ E). Bandara ini terletak di utara Jeddah (21 29’ N, 39 10’ E), dan cukup jauh dari Makkah (21 28’ N, 39 55’ E). Di sekitar garis Tropic of Cancer, 1 N = 111 km (1’ = 1,85 km) dan 1 E = 108 km (1’ = 1,80 km). Maka dengan eksak dapat kita hitung bahwa KAA Airport berjarak lurus 22 km di utara Jeddah dan berjarak lurus 84,5 km di barat laut Makkah.
Jalur penerbangan dari tanah air kita ke KAA Airport juga sama sekali tidak lewat di atas salah satu dari empat tempat miqat yang disebutkan dalam hadits. Dari empat tempat miqat tersebut, yang relatif paling dekat dengan jalur penerbangan adalah Qarnulmanazil (21 37’ N, 40 25’ E). Seperti nama Dzulhulaifah, nama Qarnulmanazil tidak dipakai lagi. Tempat itu kini bernama As-Sayl al-Kabir, dan ternyata sangat jauh dari jalur penerbangan. Garis lurus dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan membentuk sudut siku-siku tepat pada kota Nasir. Dengan demikian, jarak dari Qarnulmanazil ke jalur penerbangan (kota Nasir) secara eksak dapat kita hitung, yaitu 78,2 km, lebih jauh dari jarak lurus Qarnulmanazil ke Makkah yang cuma 56,5 km.
Memulai ihram di pesawat udara?
Bagaimanakah pendapat yang mengatakan bahwa jemaah haji kita harus berpakaian ihram di tempat embarkasi di Indonesia, lalu mulai berihram di pesawat udara? Pendapat tersebut sah-sah saja dan tidak ada salahnya. Tapi apa gunanya kita menyiksa diri seperti itu dengan membiarkan tubuh kita kedinginan selama 10 jam di pesawat udara. Mereka yang memulai ihram dari pesawat udara pada umumnya berdasarkan hal-hal berikut: Pertama, mereka beranggapan mengambil miqat di Qarnulmanazil. Kedua, mereka ragu dan waswas kalau-kalau jalur penerbangan melewati batas Tanah Haram. Ketiga, mereka berpendapat bahwa KAA Airport tidak sah sebagai miqat makani sebab tidak tersebut dalam hadits. Keempat, mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh para pembimbing karena memang masih awam dan baru belajar manasik ketika akan pergi haji.
Padahal, seperti telah kita bahas, pesawat udara kita tidak lewat di atas Qarnulmanazil serta sama sekali tidak melewati Tanah Haram. Memulai ihram dari pesawat udara tidaklah salah, tetapi janganlah menipu diri sendiri dengan berkhayal mengambil miqat di Qarnulmanazil, apalagi sambil menyalahkan atau menganggap tidak sah yang mengambil miqat di KAA Airport. Bandara yang baru dipakai tahun 1979 ini sudah tentu tidak ada dalam hadits, sebagaimana pesawat udara, awang-awang dan langit juga tidak pernah disebutkan dalam hadits untuk menjadi tempat miqat.
Ternyata mereka yang ingin memulai ihram di pesawat udara sering bingung mengenai kapan saat yang tepat untuk itu. Ada yang mengatakan kira-kira seperempat jam sebelum landing, ada yang mengatakan kira-kira 20 menit, atau kira-kira 25 menit, dan ada juga pendapat kira-kira 30 menit sebelum pesawat mendarat di KAA Airport. Semuanya kira-kira! Dengan kecepatan rata-rata (ground speed) pesawat udara 575 mil atau 920 km per jam, selisih waktu semenit saja dapat menyebabkan perbedaan lebih dari 15 km. Sudah tentu pelaksanaan ibadah dengan metode “kira-kira” tidaklah dapat dipertanggungjawabkan baik secara diniyah maupun secara ilmiah.
Ada yang mengatakan bahwa “lokasi Qarnulmanazil akan diumumkan oleh pilot”! Dari beberapa kali penerbangan ke tanah suci, baik umrah maupun haji, saya menyimpulkan bahwa pilot pesawat udara dan kru-krunya tidak tahu apa-apa mengenai lokasi Qarnulmanazil. Pada salah satu penerbangan, terdengar pengumuman bahwa pesawat berada di atas Qarnulmanazil dan para jemaah haji yang ingin memulai ihram segera bersiap-siap. Merasa penasaran saya bertanya bagaimana cara menentukan koordinat Qarnulmanazil dari udara. Mereka mengaku tidak tahu lokasi Qarnulmanazil sebab tidak ada dalam peta, dan hanya melaksanakan instruksi pihak Garuda agar mengumumkan hal itu 30 menit sebelum mendarat. Pada penerbangan yang lain, terdengar pengumuman bahwa pesawat berada di atas miqat makani kota Nasir. Ketika saya mengomentari bahwa tidak ada tempat miqat bernama Nasir, sang petugas mengatakan bahwa menurut orang Depag Nasir adalah nama baru Qarnulmanazil. Entah ‘orang Depag’ mana yang dia maksud. Padahal, seperti telah kita hitung, jarak antara Nasir dan Qarnulmanazil (yang nama barunya As-Sayl al-Kabir) adalah 78,2 km.
Pengalaman ke Qarnulmanazil
Penulis pernah mengunjungi Qarnulmanazil (As-Sayl al-Kabir) secara tidak sengaja ketika menunaikan umrah pada bulan Januari 1997. Niat saya adalah pergi ke Ta’if, berangkat naik taksi dari Makkah melalui Aziziyah. Ketika pulang dari Ta’if, supir taksi menawari saya agar kembali ke Makkah melalui jalur utara, tentu dengan tambahan riyal. Katanya, jamaah dapat melihat miqat di Sayl dan melihat ustad (stadion olahraga) di Ji`ranah. Mendengar nama Sayl, penulis langsung setuju sambil diam-diam menghitung sisa riyal di saku. Ternyata As-Sayl al-Kabir itu memang lokasi miqat resmi seperti Dzulhulaifah (Bi’r Ali). Di sana terdapat tugu miqat, mesjid megah tempat persiapan berihram, dan lapangan parkir yang luas.
Sekitar satu jam sebelum mencapai Sayl dari arah timur, ada lapangan terbang domestik. Kelihatannya semacam pangkalan udara militer. Menurut supir taksi, daerah itu bernama Wadi Mahram. Saya langsung berharap sambil berdoa, semoga pemerintah Arab Saudi segera meningkatkan status lapangan terbang di Wadi Mahram menjadi bandara internasional, setidak-tidaknya bandara khusus haji. Dengan demikian, jemaah haji dari arah timur yang ingin langsung ke Makkah dapat mengambil miqat makani di Qarnulmanazil sesuai dengan bunyi hadits. Tidak seperti sekarang, banyak yang mengaku berihram dari Qarnulmanazil, tetapi tidak tahu di mana dan belum pernah ke sana. Aneh tapi nyata!
Jika kita ingin mengambil miqat di Qarnulmanazil (As-Sayl al-Kabir), kita harus naik pesawat udara yang rutenya Jakarta-Riyadh, bukan Jakarta-Jeddah, seperti pernah saya alami bersama beberapa teman pada bulan Juli 2002. Setelah mendarat di Bandara Internasional Raja Khalid, Riyadh, kita pergi ke terminal bis SAPTCO (Saudi Arabian Public Transportation Company, “DAMRI”-nya Arab Saudi) yang tidak jauh dari bandara. Kita naik bis Riyadh-Jeddah yang setiap 30 menit berangkat, tetapi jangan keterusan sampai Jeddah, melainkan turun di Ta’if atau di Halban (sebelum Ta’if dari arah timur). Dari Ta’if atau dari Halban kita menyewa taksi ke Makkah lewat Sayl. Jangan naik bis, sebab bis ke Makkah semuanya lewat Aziziyah. Di kompleks miqat As-Sayl al-Kabir, kita berwudu’ (atau mandi kalau mau), mengenakan pakaian ihram (di sana ada toko yang menjual pakaian ihram), menunaikan shalat sunnah ihram, mengucapkan “Labbaik Allahumma `Umrah”, lalu berangkat ke Makkah. Nah, ini baru asli Qarnulmanazil, bukan ‘Qarnulmanazil khayal’ di awang-awang yang tidak jelas koordinatnya.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, kita mengharapkan agar para jemaah haji Indonesia mantap dan tidak ragu-ragu dalam menetapkan miqat makani (tempat memulai ihram), yaitu Dzulhulaifah (Bi’r Ali) bagi yang ke Madinah dahulu (Gelombang Pertama), serta Bandar Udara Raja Abdul Aziz (KAA Airport) bagi yang langsung ke Makkah (Gelombang Kedua).
Wallahu a`lam bi sh-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar